Ahlan Wa Sahlan

Menulis Lebih dari upaya merangkai kata
Menulis Adalah Ikhtiar menemukan dan mengikat makna

Sabtu, 19 November 2011

TENTRAM DAMAI LEWAT SOLAT


                                              TENTERAM DAMAI LEWAT SHALAT
Sodorkan bukti, bahwa dengan sholat ketenangan hati akan dicapai.
Bukan dengan cara lain!


Maraknya perkumpulan-perkumpulan dzikir yang akhir-akhir ini merebak begiru cepat di tanah air, adalah fenomena baru yang menarik untuk dicermati. Perkumpulan Tawakkal yangberpusat di Jakarta, An-Nur di Yogyakarta, Al-Ikhlash di Ujung Pandang, dan perkumpulan-perkumpulan lainnya, menjadikan dzikir danpengaturan nafas sebagai sarana pencapaian target, yaitu ketenanganjiwa dan kesegaran jasmani.
Satu sisi kita patut berbangga, mengacungkanjempol kepada para peneliti dan penggerak perkumpulan ini, sebab mereka telah mampu membuktikan kehebatan ajaran Islam, walau baru dzikir dan konsentrasi saja. Paling tidak mereka telah membukakan mata dan telinga kita bahwa semua perintah Allah mengandung potensi besar yang buisa dimanfaatkan untuk sesuatu hal.
Akan tetapi, terus terang kita teriris juga. Shalat yang telah diisyaratkan Allah kepada ummat Islam ternyata masih dirasa belum cukup memenuhi kebutuhan manusia. Shalat masih dirasa belum bisa menyegarkan jasmani dan menenangkan jiwa. Buktinya, mereka masih mencari jalanlain, denagn metode yang berbeda.
Padahal shalat sebagaimana telahbanyak disinggung dalam media ini, adalah sarana yag paling efektif untuk mencapai target-target tadi. Bahkan kalau shalat itu dioptimalkan pelaksanaannya, bisa melebihi apa yang telah dicapai manusia selama ini.
Masalahnya, shalat yang dilaksanakn oleh kebanyakan kaum muslimin belum sebagiaman mestinya. Orang yag sehabis melaksanakan shalat seolah-olah tidak memperoleh kesan apa-apa. Antara sebelum dan sesudah shalat tidak ada bedanya. Bahkan antara orang yang shalat dan yang tidak juga mirip-mirip saja.
Itulah barangkali yang menyebabkan orang yag tidak lagi tertarik mengkaji manfaat shalat, kecuali sebatas kewajiban yangharus ditunaikan saja. Mereka tidak tertarik karena belum ada bukti, sementara orang-orang yangmengkhususkan diri dalam kelompok-kelompok tadi segera dapat merasakan hasil yang memadai. Hal ini memang tidak bisa kita pungkiri.
Ini tantangan yang mesti kita jawab. Bukan dengan banyak-banyakan argumnetasi. Bukan dengan adu konsep dan dalil yang mendetail. Kita perlu bukti. Hanya dengan bukti nyata, baru orang akanmelirik kembali potensi shalat yang selama ini ditelantarkan ummatnya.
Soal ketenangan jiwa adalah janji Allah yag sudah pasti akan diberikan kepada orang yang shalat. Ada jaminan yang pasti bahwa orang yang benar dalam shalatnya bakal memperoleh ketenangan ini. Allah berfirman :
“Tegakkan shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha : 14)
“Ketahuilah denganmengingat Allah, hati menjadi tenang” (QS. AR-Ra’du ; 28)
Hati bisa tenang bial mengingat dan dzikir kepada Allah, sedang sarana berdzikir yang paling efektif adalah shalat. Tentu bukan sembarang shalat. Sebagaimana dalam ayat diatas,perintah Allah adalah tegakkan, bukan laksanakan.
Mendirikan shalat beda dengan sekedar melaksanakn. Mendirikan shalat punya kesan adanya suatu perjuangan, keseriusan, kedisiplinan, dan konsentrasi tingkat tinggi. Jika sekedar melaksanakn tak perlu susah payah, cukup sanatai asal terlaksana. Itulah sebabnya Allah memilih kata perintah “aqim”  yang berarti dirikan, tegakkan, luruskan.
Kenayataanya tidak demikian, banyak diantara  kaum muslimin yang elaksanakn shalat tapi tidak menegakkannya. Bagi mereka pokoknya shalat, kewajiban gugur, lepas dari ancaman siksa danmenunggu pahala. Cukup andai, ada sensus tentang pelaksanaan shalat ini, maka dapat dipastikan bahwa sebagian besar ummat Islam adalah golongan ini. Golongan yang cukup pokoknya sholat.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Sayang belum banyak pemimpin dan ualam yang emnagnggap perlu menjelaskannya kepada ummat. Jika toh mengkaji shalat, maka yang paling banyak mendapt perhatian adalah seputar kaifiyatush-shalah, yang tidak berkutat dari masalah fiqh.lebih parah lagi bial mereka berhenti mengkaji hanya pada masalah-masalah khilafiyah. Bukan untukmencari penyelesaian, tapi malah memperlebar jarakperbedaan, mempertajam pertentangan dan merusak kesatuan.
Kenapa kajian kiat terhadap masalah-masalah ibadah, khususnya shalat, tidak kita perlebar dan perdalam hingga menyentuh pokok-pokok pesan dan inti persoalan? Kenapa hanya sebatas kulit, tidak sampai pada daging dan tulangnya?
Sejak SD kita sudah diajari tentang shalat, begitu juga ketika di SMP, di SMA, bahkan di Perguruan Tinggi. Sayang, pelajaran shalat di PT tidaklebih dari pengulanagn, bukan pendalaman. Sebatas pada pelajaran, bukan penghayatan. Falsafah shalat, yang smesetinya diberikan ternyata tidak, hingga kaum muslimin menjalankan ibadahnya sebatas sebagai tradisi saja.
Jika pelaksanaan shalat sudah semata-mata berdasar tardisi, berarti shalat itu kosong tanpa isi. Ibarat tubuh tanpa nyawa. Ibarat bungkus tanpa isi. Apa artinya shalat yang demikian? Dfalam hal ini rasulullah menjawab melalui sabdanya : “Betapa banayak orang yag melaksanakn shalat, keuntungan yang diperoleh dari shalatnya, hanyalah capai dan payah saja.” (HR. Ibnu Majah).
Bisanya kita sangat tanggap terhadap orangyang salah dalam gerakan shalatnya, tapi kita tajk pernah peduli, apakah seseorang dalam shalatnya betul-betul telah ssmapai dzikir atau belum, sudah khusyu’ atau belum. Perhatian kit ahanya sampai pada pembetulan dari segi fiqhnya saja.
Bukannya ini tidka perlu, harus. Wajib bagi kita mengikuti tata cara shalat sebagiamna yang diajarkan rasulullah kepada kita. Tidak boleh ada penyimpangan sedikitpun. Sekecil apapun geraka harus sesuai dengan sunnah. Akan tetapi yang semestinya juga kita contoh dan tiru pada Nabi bukan sekedar gerakan fisik tapi juga gerakan batinnya. Jika neliau batinnya sering bergetar ketika membaca surat-suart tertentu, atau pada bacaan-bacaan tertentu, apakah kita juga demikian?
Bukan berarti kita memaksakan diri untuk menggetarkan batin. Juga bukan dengan memaksakn diri untuk menangis, tidak bisa itu. Agar batin bergetar, suasana hati harus terantar khusyu’, tadharru’an dan khufyany.
Khusyu’ adalah satu tingkat konsentrasi yang yang luar biasa tingginya. Ini dicapai lewat kedisiplinan mengikuti tata cara yang telah diatur sedemikian rupa, mulai dari berwudhu, adzan, iqamat, dan setrusnya berdiri untuk shalat, takbir, rukuk, sujud, bacaan-bacaan dalam shalat, yang semuanya mengantar konsentrasi mengingat Allah.
Itulah ruh shalat. Secara ekstrem dapat dikatakan, apa artinya shalat tanap khusyu’? apa manfaat shalat yang demikian? Malah dapat dikatakan bahwa lebih penting dan utama dalam shalat itu buka gerakan fisik, tapi gerakan batin. Gerakan fisik bisa diganti atau ditiadakn, jika memang tidka mampu. Tapi dzikir kepada Allah tetap harus berjalan, kapanpun juga.
Seorang yang tdiak mampu berdiri karen asakit, bisa mengganti gerakan rukuknya dengan isyarat sedikit membungkuk. Demikian juga sujudnya. Tidak bisa berdiri diperbolehkan duduk. Tidak bisa duduk dengan terbaring. Tidak bisa menggerakkan badan cukup diganti dengan gerakan yang mata. Malah kalau di kendaraan bisa dilakuakn dengan gerakan yang sangat  meringankan.
Yangtdika bisa diganti adalah gerakan batin. Ini yang mutlak harus ada. Tanpa kehadiran hati, shalat hanya merupakan gerakan mati. Gerak otomatis, bagai patung saja. Jika demikian, apa artinya?
Itulah sebabnya Alalh memberi ancaman yang cukup keras kepada kita, dengan kata yang amat pedas :
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang lalai dalam shalatnya.” (QS. Al-Maa’uun : 4-5)
Jadi ketenagan batin apalagi janji-janji yang lain terhadap orang yang shalat itu tidak serta diberikan Allah begitu saja. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Bagi yang lalai dalam shalatnya bukan saja tidka bakal mendpaatkan janji-janji tadi, malah ada ancaman keras dari Allah swt.
Itulah barangkali rahasia, kenapa ummat Islam tidak sukses, padahal mereka telah menjalankan shalat. Semestinya tidak demikian. Andai saja mereka melaksanakn shalat sesuai dengan tuntunan Islam, kemenangan mesti diperolehnya. Allah snediri berjanji :
“Singguh telah beruntung orang-orang yang beriman. Yaitu mereka yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. AL-Mu’minuun : 1-2)
rasanya tidak terlalu sulit dipahami jika orang yang intens komunikasinya dengan Allah –melalui shalat sebagai sarananya- berhasil mencapai kemenangan dan keberhasilan di berbagi sektor kehidupan. Sebab, siapa lagi yang merupakan sumber energi dari semua bentuk kekuatan kalau bukan Allah swt.
Jika kita sudah dekat denagn sumber energi dan sumber kekuatan itu, maka dengan sendirinya kita pasti lincah bergerak, dan tentu sajakuat. Dari sana kemenangan pasti didapat. Karenanya tidak slah bial redaksi adzan itu didahului dengan jakan shalat (hayya alash-shalaah), kemudian disusul dengan jakan untuk menang (hayya alal-falaah). Memang demikian seharusnya. Shalat kemudian menang.
Rahasia kemenangan itu terletak pada kedekatan kita dengan Allah swt. Jika kita sudah dekat, artinya komunikasi kiat secara vertikal lancar tak tersumbat, melalui shalat wajib dan sunnah, maka kemenangan itu pasti didapat. Allah pasti mebantu hamba-Nya yang dikasihi. Masalahnya, sudahkah ada jaminan bahwa kita telah menjadi kekasih-Nya.
Dalam hadits Qudsi Allah berfirman :
“Kepada orang yangmemnuhi wali-Ku, akan Aku nyatakan perang. Iabadah yang paling mendekatkan hamba-Ku sehingga Aku sayang kepadanya adalah menunaikan semua perintah yang Aku berikan. Hamba-Ku yang mendekatkan dirikepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah tambahan, akan Aku cintai. Apabila Aku mencintainya, maka Aku-lah sebagai telinga, yang dipakainya untuk mendengar. Aku-lah matanya yag diapaki untuk melihat. Aku-lah tangannya, yang diapaki untuk bekerja. Aku-lah kakinya yag diapaki untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri, dan apabila dia minta perlindungan akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Alangkah hebatnya potensi ibadah, khusunya shalat ini. Syang ummat Islam belum menggalinya sebagai suatu pelajran yang siap disajikan di kelas, sebagai praktek yang dapat dilaksanakan di lapangan, dan sebagi satu bukti yang dapat dilihat dan disaksikan pengaruh dan dampaknya.
Andaikata shalat ini dikaji secara intensif, dipraktekkan sesuai sunnah Nabi di dalam menyedot kekuatan-kekuatan yag dijanjikan Allah, pasti sudah lama nasib ummat Islam tidak seperti ini.
Tersu terang kita khawatir jika potensi shalat diabaikan oleh ummat Islam, kemudian mereka memandang bahwa shalat tidak meiliki arti lagi dalmkehidupan sehari-hari, maka bencana akan datang emnimpa. Buakn bencana alam, tapi bencana agama. Mereka tdiak mau lagi mau melirik shalat untuk menenangkan jiwanya, tapi sudah menggunakan cara-cara yang lain. Mereka mencari terapi yang lain untuk mencegah fakhsa’ dan munkar dengan cara yag tidak diajarkan agama.
Jika shalat sudah tidak dipandang sebagai sesuatu yang potensial lagi, kemudian diaman letak keislaman kita? Bukankah shalat sebagai tiang agama? Kalau tiang itu sudah kita anggap tidak bisa lagi menyangga bangunan yang ada, maka bangunan apa yang bisa kita dirikan disana?
“Pokok urusan itu Islam, sedang tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad fi sabilillah.” (HR. Ahmad dan Turmudzi)
Fenomena yang akhir-akhir ini terjadi, tidak lain karena kit alalai dalam menyodorkan sholat sebagai alternatif terbaik untuk menentramkan jiwa. Pada saat dunia sedang gelisah seperti sekarang, orang pada sibuk mencari ketenangan. Dengan segala cara mereka ingin dapatkan. Tak peduli harus lari ke kuil atau pertapaan-pertapaan sepi. Tak peduli harus pergi ke hutan sendirian, pokoknya dapat menentramkan hati. Alangkah idealnya bila kita segera memberi jawab atas keresahan ummat ini. Kita sodorkan alternatif satu-satunya yang dapat menghilangkan stres dan tekanan jiwa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar